Minggu, 05 Februari 2012

CINTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM


A. Islam mengakui adanya rasa cinta
Seseorang yang memiliki rasa cinta adalah anugerah dari allah S.W.T , dan tidak dapat di pungkiri juga keberadaanya dalam sekeliling kita, begitu juga rasa cinta kepada lawan jenis. Seperti firman allah dalam surat al-imran ayat 14.
قال الله تعال في كثابه
زين للناس حب الشهواث من النساء و البنين و القناطير. المقنطرة من الذهب و الفضة و الخيل المسومة و الأنعام و الحرث ذلك متاع الحياة الدنيا و الله عنده حسن الماب ( ال امران : 14).
Artinya : dijadikan indah pada manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi allah lah tempat kembali yang baik. (ali imran : 14).
Dan khusus cinta kepada wanita, islam menganjurkan untuk mengejewantahkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah, dan yang paling penting adalah harus penuh dengan tanggung jawab. Sehingga seseorang yang apabila mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.
B. Cinta yang timbul kepada sesama jenis hanya dalam ikatan formal
Menurut perspektif islam cinta kepada lain jenis itu hanya di benarkan manakala suatu ikatan sudah jelas. Adapun Sebelum adanya ikatan yang sudah jelas tersebut pada hakikatnya bukanlah cinta, melainkan hanya nafsu belaka.
Dan cinta dalam pandangan islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak hanya sekedar diucapkan atau di goreskan oleh pena yang tertulis di atas kertas cinta belaka. Juga bukan merupakan janji dengan muluk-muluk lewat sms, chating dll. Akan tetapi cinta sejati adalah yang berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung jawab yang di saksikan oleh orang banyak.
Dan dengan ikatan ini, jadilah seorang laki-laki itu the real gentlemen. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan itulah yang bisa memastikan apakah seseorang tersebut betul dia seorang laki-laki atau sekedar berlaku iseng tanpa nyali.
Dan dalam islam hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi, baik itu sentuhan, pegangan, ciuman, dan juga seks. Sedangkan di luar nikah islam tidak pernah membenarkan semua itu, kecuali memang ada hubungan mahram.
Sedangkan pemandangan yang sering kita lihat di mana ada seorang muslim yang melakukan pacaran dengan praktek pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa manusia tersebut memang telah terlampau jauh dari agama, naudzu billahi min zalik.
C. Pacaran bukan cinta
Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencintai satu sama lain. Sebab cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan berkenalan di suatu kesempatan tertentu melalui chating kemudian saling tukar menukar nomer hp, bertelepon, lalu di teruskan dengan ikatan janji untuk bertemu langsung di suatu tempat ( dating ).
Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang, sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan di akui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada ketentuan tentang kesetiaan dan seterusnya.
Padahal cinta itu memiliki, tanggung jawab, ikatan syah dari sebuah kesetiaan. Dalam format pacaran, semua itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.
D. Pacaran bukanlah penjajakan atau perkenalan
Bahkan kalaupun pacaran itu di anggap sebagai penjajakan, perkenalan, atau mencari titik temu antara kedua calon suami isteri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajakan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran yang sebenarnya dari data yang di perlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.

Dalam format mencari pasangan hidup islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang di perhitungkan, yaitu dengan memperhatikan 4 faktor yang terdapat dalam hadits rasulullah yang berbunyi :
Dari abu hurairah, nabi saw bersabda : “nikahilah perempuan karena 4 perkara : karena hartanya, dan karena keturunannya, dan karena kecantikannya, dan karena agamanya. Oleh itu, dapatilah perempuan yang mempunyai agama, (karena jika tidak) binasalah dua tanganmu” . (muttafakun ‘alaihi).
Selain kriteria di atas islam juga membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidupnya untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin langsung di ceritakan oleh orang yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting. Inilah yang di kenal dalam istilah islam sebagai TA’ARUF . dan ini jauh lebih bermanfaat dan objektif dari pada kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang berkencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, walaupun itu hasil meminjam kepada temannya. Begitu juga dengan bermake-up, berparfum, dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.
Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.

Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya sebuah penyesatan dan pengelabuhan. Wallahu a’lam.
Reade more >>

Jumat, 06 Januari 2012

BEBERAPA KESALAHAN-KESALAHAN SAAT SHALAT

Sering kali, tanpa sadar kita banyak melakukan kesalahan kecil dalam shalat, yang akan mengurangi pahala shalat kit. Berikut ini beberapa kesalahan dalam shalat
1. NIAT
Banyak dari kita yang ketika membaca niat selalu dilafazhkan dan dibarengi dengan takbiratul ihram. Padahal, sebenarnya niat shalat itu harus dibaca di dalam hati. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang diwajibkan. Ada juga yang beranggapan bahwa perilaku tersebut merupakan sunnah.
Secara logika, hal ini jelas tidaklah mungkin. Bayangkan saja, bagaimana kita membaca niat sedangkan kita sedang melakukan takbiratul ihram dengan membaca Allahu Akbar? Keduanya tidak bias kita lakukan sekaligus. Imam syafi’I membenarkan bahwa orang yang sedang shalat tidak mungkin sanggup melakukan dua kegiatan sekaligus seperti di atas. Ibnu qoyyim mengatakan bahwa ketika nabi Muhammad saw shalat, beliau hanya mengucapkan takbiratul ihrom dan tidak berkata apa-apa lagi. Beliau juga tidak melafadzkan niat dengan keras.

2. Mengangkat tangan terlalu tinggi atau rendah ketika takbir
Menurut hadits ahmad, abu daud, tirmidzi, rasulullah mengangkat kedua tangannya henya sebatas bahu atau cabang telinga. Abdullah bin umar mengatakan bahwa dia melihat rasulullah saw. Shalat dimulai dengan takbir. Beliau mengangkat tangan ketika mengucapkan takbir dan menjadikan kedua tangan nabi berbetulan dengan kedua bahunya. Kemudian, rasulullah (bersedekap) di atas perutnya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri.
3. Mengulangi bacaan surat al-fatihah lebih dari satu kali dalam satu rakaat
Ketika shalat, kita diperintahkan untuk membaca surat al-fatihah dan surat yang lain setelah surat al-fatihah. Membaca surat al-fatihah dalam setiap rakaat hanya boleh dibaca satu kali. Apabila surat al-fatihah dibaca lebih dari satu kali, maka kita sudah menyalahi perintah dan tuntunan dari rasulullah.
4. Berdiri dengan telapak kaki dan ujung jarinya tidak menghadap kiblat
Rasulullah ketika shalat selalu meluruskan jari-jari kakinya ketika melakukan shalat. Ketika shalat, kaki tidak boleh membentuk huruf V yang satu (kanan) menghadap ke utara dan yang sebelah kiri menghadap ke selatan. Kita harus mengikuti aturan yang sudah dibuat, agar pahala shalat kita tidak berkurang. Salah satu hadits yang mendasari tentang hal ini adalah seperti berikut :
‘’Dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’, sesungguhnya dia duduk bersama dengan beberapa sahabat Nabi Muhammad saw. Kai sedang membicarakan shalatnya nabi. Maka, Abuh Humaid as-Sa’idy berkata, ‘aku lebih hafal dari kalian mengenai shalatnya rasulullah saw. Aku melihat beliau juga bertakbir mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya. Dan, ketika beliau sujud, beliau meletakkan kedua tangannya tanpa dihamparkan dan tidak pula menghimpitkan ke arah perutnya, dan beliau menghadapkan jemari kakinya kea rah kiblat.’’
(HR. Bukhari)
5. Merapatkan kaki ketika berdiri
Kelalaian lain yang sering kita lakukan ketika melaksanakan shalat adalah ketika berdiri, kita merapatkan kaki. Rasulullah saw ketika shalat tidak pernah merapatkan kakinya ketika berdiri. Tuntunan yang benar di dalam shalat adalah hendaknya membuka kedua kaki dan tidak merapatkannya.
6. Melakukan gerakan-gerakan yang berlebihan ketika shalat
Sering kita menjumpai seseorang yang melakukan gerakan berlebihan saat melakukan shalat. Msisalnya, menggaruk anggota badan tanpa alasan, sering membetulkan posisi peci dan mukena, sering merapikan rambut, menggerakan tangan dan kaki secara terus menerus, dan sebagainya. Gerakan-gerakan yang disebutkan di atas sering membuat shalat kita menjadi tidak khusyu. Terlalu banyak bergerka ketika shalat, hukumnya adalah makruh (perkara yang dianjurkan untuk tidak dilakukan. Jika dilakukan tidak berdosa, tetapi jika ditinggalkan akan mendapat pahala). Apabila gerakan-gerakan dilakukan secara berlebihan dan terus menerus, maka shalat kita batal dan wajib untuk menglang shalat.
7. Melihat ke sekeliling tanpa alasan tertentu
Sering kita jumpai orang yang shalat menoleh ke kanan, ke kiri, dan ke atas. Mereka sering menoleh hanya untuk melihat sekeliling masjid, baik hiasan masjid maupun orang yang ada di sekitarnya. sebenarnya, hal tersebut bertentangan dengan tuntunan Rasulullah, sehingga dapat membatalkan shalat. Bukhari dan Tirmidzi dalam haditsnya mengatakan bahwa Aisyah Ra. Bertanya kepada Rasulullah mengenai orang yang sering berpaling dalam shalatnya. Nabi Muhammad saw mengatakan bahwa hal itu merupakan hasil curisn setan dari shalat hamba.
8. Posisi kepala tidak lurus dengan punggung keetika ruku’
Kebanyakan dari kita ketika melakukan ruku’ melenceng dari tuntunan yang diajarkan oleh rasulullah saw. Cara melakukan ruku’ yang benar adalah jangan terlalu membungkukkan kepala atau mengangkatnya. Rasulullah mengajarkan kepada para sahabatnya untuk menyejajarkan kepala, punggung, dan dubur ketika ruku’.
Dalam hadits disebutkan, ‘’Dari Abu Mas’ud al-badry berkata, ‘Rasulullah saw. Bersabda, ‘tidak dianggap sempurna shalat seseorang hingga dia meluruskan punggungnya ketika ruku’ dan suud.’’(HR. Abu Daud).

9. Mengarahkan pandangan ketika ruku’ pada kedua mata kaki
Ketika ruku’, sebagian dari kita sering mengarahkan pandangan ke arah mata kaki dan sekitarnya. Hal seperti itu adalah salah. Tuntunan yang benar adalah pandangan kita harus fokus ke tempat sujud. Mata kita tidak boleh melihat ke arah kedua mata kaki.
‘’dari Ibnu Abbas berkata, ‘Nabi Muhammad SAW. Ketika berdiri memulai shalat, beliau tidak melihat, kecuali ke arah tempat sujudnya.’’ (HR.Nawawi).
10. Menyatukan jari-jari kedua kaki ketika sujud
Ketika melakukan sujud, rasulullah membuka jari-jari kedua kakinya. di dalam hadits Nasa’i, Abu Humaid Sa’idi berkata,‘’apabila rasulullah saw. Turun ke tanah untuk sujud, beliau merenggangkan kedua bahunya dari kedua ketiaknya dan membuka jari-jari kedua kakinya.
11. Tidak boleh ada sesuatu yang menghalangi anggota sujud menempel tempat sujud
Banyak yang beranggapan bahwa ketika kita sedang sujud, tidak boleh ada sesuatu yang menghalangi anggota sujud untuk menyentuh sajadah atau tanah. Bagi laki-laki, mereka harus menyibakkan rambutnya dari dahi agar tidak menghalangi wajah untuk sujud. Akan tetapi, pendapat ini tidak benar. Shalat kkanita akan tetap sah, meskipun ada sesuatu yang menghalangi anggota sujud menempel ke tempat sujud.
12. Langsung sujud setelah salam
Kebanyakan dari kitasering melakukan sujud setelah salam. Mereka mengatakan bahwa sujud tersebut merupakan sujud syukur. Sebenarnya, hal tersebut merupakan sebuah tambahan dan tidak ada di dalam tuntunan shalat. Rasulullah juga tidak pernah mengajarkan hal seperti itu.
13. Hanya menoleh sedikit ketika salam
Ketika kita mengakhiri shalat dengan salam (menoleh ke kanan dan ke kiri), kita harus menyempurnakan cara salam kita. Rasulullah saw. Selalu mengakhiri shalatnya dengan salam, yaitu menoleh ke kanan dan ke kiri, sehingga pipi nabi terlihat oleh seseorang yang berada di belakang nabi.
‘’ dari Abdullah bin mughaffal berkata, rasulullah saw. Bersabda, ‘sesungguhnya pencuri yang sebenarnya adalah yang mencuri shalatnya.’ Kemudian ditanya, ‘bgaimana seseorang mencuri shalatnya wahai rasulullah ?’ beliau menjawab, ‘yang tidak sempurna ruku’ dan sujudnya, dan orang yang paling bakhil (pelit) adalah bakhil dalam salam.’’ (HR. Tibrani).
Reade more >>

Rabu, 04 Januari 2012

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH ; SEBUAH KEWENANGAN BARU PERADILAN AGAMA

PENDAHULUAN
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syari’ah. Disamping itu, lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf juga telah memberikan nuansa baru pada lembaga Peradilan Agama, sebab pengaturan wakaf dengan undang-undang ini tidak hanya menyangkut tanah milik, tetapi juga mengatur tentang wakaf produktif yang juga menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk menyelesaikan berbagai sengketa dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan pasal 49 huruf ( i ) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ditegaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syari’ah”. Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pergadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.
Ruang lingkup wakaf berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tidak hanya dalam ruang lingkup benda tidak bergerak saja, tetapi meliputi benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud seperti uang, logam mulia, hak sewa, transportasi dan benda bergerak lainnya. Wakaf benda bergerak ini dapat dilakukan oleh wakif melalui lembaga keuangan syari’ah yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Bank Syari’ah. Kegiatan wakaf seperti ini termasuk dalam kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang penglolaannya berdasarkan prinsip syari’ah.
Ekonomi syari’ah dibahas dalam dua disiplin ilmu, yaitu ilmu ekonomi Islam dan ilmu hukum ekonomi Islam. Ekonomi syari’ah yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama berhubungan dengan ilmu hukum ekonomi yang harus diketahui oleh para hakim di lingkungan lembaga Peradilan Agama. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan ekonomi syari’ah belum ada aturan khusus yang mengatur tentang hukum formil (hukum acara) dan hukum materiel tentang ekonomi syari’ah. Pengaturan hukum ekonomi syari’ah yang ada selama ini adalah ketentuan yang termuat dalam kitab-kitab fiqih dan sebagian kecil terdapat dalam fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN), dan dalam Peraturan Bank Indonesia. Melihat kepada kasus-kasus yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa kepada Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) sehubungan dengan sengketa antara Bank Syari’ah dan nasabahnya, dalam penyelesaiannya BASYARNAS menggunakan dua hukum yang berbeda yaitu fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional dan KUH Perdata. Hal ini dilakukan guna mengisi kekosongan hukum dalam menyelesaikan suatu perkara.
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH BERDASARKAN TRADISI ISLAM KLASIK.
1. Al Sulh (Perdamaian)
Secara bahasa, “sulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah “sulh” berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai1. Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh Allah SWT sebagaimana tersebut dalam surat An Nisa‟ ayat 126 yang artinya “Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”.
Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian damai dapat diklasifikasi kepada bebarapa hal sebagai berikut :
a. Hal yang menyangkut subyek
Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian harus orang cakap bertindak menurut hukum. Selain dari itu orang yang melaksanakan perdamaian harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atau hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.
b. Hal yang menyangkut obyek
Tentang obyek dari perdamaian harus memenuhi ketentuan yakni pertama : berbentuk harta, baik berwujud maupun yang tidak berwujud seperti hak milik intelektual, yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserahterimakan dan bermanfaat, kedua : dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian baru terhadap obyek yang sama.
c. Persoalan yang boleh didamaikan (disulh-kan)
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa hal-hal yang dapat dan boleh didamaikan hanya dalam bentuk pertikaian harta benda yang dapat dinilai dan sebatas hanya kepada hak-hak manusia yang dapat diganti. Dengan kata lain, persoalan perdamaian itu hanya diperbolehkan dalam bidang muamalah saja, sedangkan hal-hal yang menyangkal hak-hak Allah tidak dapat didamaikan.


2. Tahkim (Arbitrase)
Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan “Hakam”.
Menurut Abu al Ainain Fatah Muhammad pengertian tahkim menurut istilah fiqih adalah sebagai bersandarnya dua (2) orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian para pihak yang bersengketa. Sedangkan menurut Said Agil Husein al Munawar pengertian “tahkim” menurut kelompok ahli hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum diantara manusia dengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan secara umum. Sedangkan pengertian “tahkim” menurut ahli hukum dari kelompok Syafi’iyah yaitu memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara‟ terhadap suatu peristiwa yang wajib dilaksanakannya.
3. Wilayat al Qadha (Kekuasaan Kehakiman)
a. Al Hisbah
Al Hisbah adalah lembaga resmi negara yang diberi wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan untuk menyelesaikannya. Menurut Al Mawardi Kewenangan lembaga Hisbah ini tertuju kepada tiga hal yakni pertama : dakwaan yang terkait dengan kecurangan dan pengurangan takaran atau timbangan, kedua : dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga seperti pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual bahan makanan yang sudah kadaluarsa dan ketiga : dakwaan yang terkait dengan penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang mampu membayarnya.

b. Al Madzalim
Badan ini dibentuk oleh pemerintah untuk membela orang-orang teraniaya akibat sikap semena-mena dari pembesar negara atau keluarganya, yang biasanya sulit untuk diselesaikan oleh Pengadilan biasa dan kekuasaan hisbah. Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini adalah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat atau pejabat pemerintah seperti sogok menyogok, tindakan korupsi dan kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara ini disebut dengan nama wali al Mudzalim atau al Nadlir.

c. al Qadha (Peradilan)
Menurut arti bahasa, al Qadha berarti memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah berarti “menetapkan hukum syara‟ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat”. Adapun kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini adalah menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan dengan masalah al ahwal asy syakhsiyah (masalah keperdataan, termasuk didalamnya hukum keluarga), dan masalah jinayat (yakni hal-hal yang menyangkut pidana)
III. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH BERDASARKAN TRADISI HUKUM POSITIF INDONESIA
1. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)
Konsep sulh (perdamaian) sebagaimana yang tersebut dalam berbagai kitab fiqih merupakan satu dokrin utama hukum Islam dalam bidang muamalah untuk menyelesaikan suatu sengketa, dan ini sudah merupakan conditio sine quo non dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya perdamaian bukalah suatu pranata positif belaka, melainkan lebih berupa fitrah dari manusia. Segenap manusia menginginkan seluruh aspek kehidupannya nyaman, tidak ada yang mengganggu, tidak ingin dimusuhi, ingin damai dan tenteram dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian institusi perdamaian adalah bagian dari kehidupan manusia.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Perkara mengatur tentang penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yakni melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Undang-Undang ini tidak seluruhnya memberikan pengertian atau batasan-batasan secara rinci dan jelas. Disini akan dijelaskan tentang pengertian singkat tentang bentuk-bentuk ADR sebagai berikut :
a. Konsultasi
Black’s Law Dictionary memberi pengertian Konsultasi adalah “aktivitas konsultasi atau perundingan seperti klien dengan penasehat hukumnya”. Selain itu konsultasi juga dipahami sebagai pertimbangan orang-orang (pihak) terhadap suatu masalah.
b. Negosiasi
Dalam Business Law, Prinsiples, Cases and Policy yang disusun oleh Mark E. Roszkowski disebutkan : Negosiasi proses yang dilakukan oleh dua pihak dengan permintaan (kepentingan) yang saling berbeda dengan membuat suatu persetujuan secara kompromis dan memberikan kelonggaran.

c. Konsiliasi
Black’s Law Dictionary menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan konsiliasi adalah penciptaan penyesuaian pendapat dan penyelesaian suatu sengketa dengan suasana persahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya persidangan dengan maksud untuk menghindari proses legitasi.
d. Pendapat atau Penilaian Ahli
Bentuk ADR lainnya yang diintrodusir dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 adalah pendapat (penilaian) ahli. Dalam rumusan pasal 52 Undang-Undang ini dinyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari tugas lembaga arbitrase sebagaimana tersebut dalam pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
2. Arbitrase (Tahkim)
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dikemudian hari di antara mereka. Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ada yang langsung ke lembaga Pengadilan atau ada juga melalui lembaga di luar Pengadilan yaitu arbitrase (choice of forum/choice of jurisdiction). Di samping itu, dalam klausul yang dibuat oleh para pihak ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antara mereka (choice of law).
Di Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa bisnis yang terjadi dalam lalu lintas perdagangan, antara lain BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang khusus menangani masalah persengketaan dalam bisnis Islam, BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional) yang menangani masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Bank Syari’ah, dan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus menyelesaikan sengketa bisnis non Islam.
3. Proses Litigasi Pengadilan
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan baik melalui sulh (perdamaian) maupun secara tahkim (arbitrase) akan diselesaikan melalui lembaga Pengadilan. Menurut ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, secara eksplisit menyebutkan bahwa di Indonesia ada 4 lingkungan lembaga peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Agama.
Dalam hal penyelesaian sengketa bisnis yang dilaksanakan atas prinsip-prinsip syari‟ah melalui mekanisme litigasi Pengadilan terdapat beberapa kendala, antara lain belum tersedianya hukum materil baik yang berupa Undang-undang maupun Kompilasi sebagai pegangan para hakim dalam memutus perkara. Di samping itu, masih banyak para aparat hukum yang belum mengerti tentang ekonomi syari’ah atau hukum bisnis Islam. Dalam hal yang menyangkut bidang sengketa, belum tersedianya lembaga penyidik khusus yang berkompeten dan menguasai hukum syari’ah. Pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa bisnis (ekonomi) syari’ah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana.
IV. SUMBER HUKUM DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH.
1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari‟ah adalah Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Sementara ini Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, Rechtreglement Voor De Buittengewesten (R.Bg) untuk luar Jawa Madura. Kedua aturan Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 . Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Tentang Peradilan Agama. Di samping dua peraturan sebagaimana tersebut di atas, diberlakukan juga Bugerlijke Wetbook Voor Indonesia (BW) atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya buku ke IV tentang Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993.
Juga diberlakukan Wetbook Van Koophandel (Wv.K) yang diberlakukan berdasarkan Stb 1847 Nomor 23, khususnya dalam pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dalam kaitan dengan peraturan ini terdapat juga Hukum Acara yang diatur dalam Failissements Verordering (Aturan Kepailitan) sebagaimana yang diatur dalam Stb 1906 Nomor 348, dan juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan dijadikan pedoman dalam praktek Peradilan Indonesia.
2. Sumber Hukum Materil
a. Nash al Qur’an
Dalam al Qur’an terdapat berbagai ayat yang membahas tentang ekonomi berdasarkan prinsip syariah yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan keuangan. Syauqi al Fanjani menyebutkan secara eksplisit ada 21 ayat yaitu Al Baqarah ayat 188, 275 dan 279, An Nisa ayat 5 dan 32, Hud ayat 61 dan 116, al Isra’ ayat 27, An Nur ayat 33, al Jatsiah ayat 13, Ad Dzariyah ayat 19, An Najm ayat 31, al Hadid ayat 7, al Hasyr ayat 7, Al Jumu’ah ayat 10, Al Ma’arif ayat 24 dan 25, al Ma’un ayat 1, 2 dan 3.
b. Nash al Hadits
Melihat kepada kitab-kitab Hadits yang disusun oleh para ulama ahli hadits dapat diketahui bahwa banyak sekali hadits Rasulullah SAW yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi dan keuangan Islam. Oleh karena itu mempergunakan al Hadits sebagai sumber hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi Syari’ah sangat dianjurkan kepada pihak-pihak yang berwenang. Hadits Rasulullah SAW yang dapat dijadikan rujukan dapat diambil dalam beberapa kitab Hadits sebagai berikut :
a. Sahih Buchari, Al Buyu‟ ada 82 Hadits, Ijarah ada 24 Hadits, As Salam ada 10 Hadits, Al Hawalah ada 9 Hadits, Al Wakalah 17 Hadits, Al Muzara’ah 28 Hadits dan Al Musaqat 29 Hadits.
b. Sahih Muslim ada 115 Hadits dalam al Buyu‟.
c. Sahih Ibn Hiban, tentang al Buyu’ ada 141 Al Hadits, tentang al Ijarah ada 38 al Hadits.
d. Sahih Ibn Khuzaimah ada 300 al Hadits tentang berbagai hal yang menyangkut ekonomi dan transaksi keuangan.
3. Peraturan Perundang-Undangan
Banyak sekali aturan hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syari’ah
Di antara peraturan perundang-undangan yang harus dipahami oleh Hakim Peradilan Agama yang berhubungan dengan Bank Indonesia antara lain :
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari’ah..
Reade more >>